Award terbaru yang baru diluncurkan khusus untuk MUSLIM. Karena itu widget ini di sebut ISLAM BLOGGER AWARD. Bagi MUSLIM pasti tidak ingin melewatkanya.maka ikutilah award ini.

Berikut ini ketentuan-ketentuan yang harus diikuti :

Bagi siapa pun yang menerima penghargaan ini adalah berbagi penghargaan ini kembali ke sepuluh orang teman Muslim dan mempublikasikan posting ini. Selanjutnya, penerima penghargaan harus diletakkan mengikuti link di artikel blog atau individu:

01.

02.
03.
04.
05.
06.
07.
08.
09. TINGKING
10. U must b lucky

Sebelum anda menaruh link pada daftar di atas, sebelumnya memindahkan link-link yang sudah ada ke atas. Kemudian link anda masukkan di nomor 10. Anda wajib untuk posting artikel ini di blog Anda dengan meningkatkan nomor 10 ke nomor sembilan dan menempatkan link anda di nomor 10. Jika setiap penerima penghargaan mampu memberikan penghargaan ini untuk lima orang saja dan mereka semua bekerja pada permainan ini, maka jumlah link balik yang akan diperoleh adalah:

Bila Anda ada di
Posisi 10, jumlah backlink = 1

Posisi 9, jumlah link balik = 5

Posisi 8, jumlah link balik = 25

Posisi 7, jumlah link balik = 125
Posisi 6, jumlah link balik = 625
Posisi 5, jumlah link balik = 3,125

Posisi 4, jumlah link balik = 15,625
Posisi 3, jumlah link balik = 78,125
Posisi 2, jumlah link balik = 390,625
Posisi 1, jumlah link balik = 1.953.125


Dalam hal SEO (Search Engine Optimasi) jika anda membuat backlink sejumlah 1.953.125 dan keuntungannya, blog anda akan mendapatkan lalu lintas tambahan, terutama jika ada yang mengklik link ke blog anda.

Selain memperkuat persahabatan antara blogger, penghargaan ini akan membantu Anda untuk meningkatkan lalu lintas blog dan link balik serta peringkat Page Rank.
Tak terasa, seiring dengan berjalannya waktu, bulan Ramadhan 1431H akan segera tiba. Bulan yang paling dinanti kedatangannya oleh kaum Muslimin di seluruh dunia, bahkan oleh umat lain yang bekerja sebagai pedagang.

Sebagai Muslim, sudah sepantasnya menyambut datangnya bulan Ramadhan dengan penuh suka cita karena tamu yang agung itu membawa beragam kebaikan yang tidak terdapat pada bulan-bulan lainnya. Rasulullah SAW. bersabda, "Seandainya setiap hamba mengetahui apa yang ada dalam bulan Ramadhan, umatku akan berharap seandainya setahun itu bulan Ramadhan." (HR. Ibnu Khuzaimah)

Bulan Ramadhan adalah bulan agung, bulan yang penuh dengan kemuliaan, keberkahan, dan hikmah. Bulan Ramadhan dikenal juga sebagai Sayyidusy Syuhur (pemimpin segala bulan), Syahrul Quran (bulan diturankannya Al-Quran), Syahrush Shiyam (bulan Puasa), Syahrun Najah (bulan keselamatan dari siksa neraka), Syahrut Tilawah (bulan untuk membaca dan menekuni Alquran), Syahrush Shabri (bulan kesabaran), Syahrur Rahmah (bulan yang penuh rahmat), Syahrullah (bulannya Allah). Di hari-hari terakhir di bulan Syakban, Rasulullah SAW. biasa mengumpulkan para sahabat serta kaum Muslimin dan Muslimat. Beliau pun berkhotbah di hadapan mereka, menjelaskan keistimewaan bulan Ramadhan.

Diriwayatkan dari Ibnu Khuzaimah, diterima dari Salman RA., beliau mengatakan, "Pada hari terakhir bulan Syakban, Rasulullah berkhotbah kepada kami, "Wahai manusia, kini telah dekat kepadamu suatu bulan yang agung, bulan yang sarat dengan berkah, yang di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik (nilainya) dari seribu bulan. Inilah bulan yang Allah tetapkan puasa di siang harinya sebagai fardu, dan shalat Tarawih di malam harinya sebagai sunat. Barangsiapa ingin mendekatkan dirinya kepada Allah di bulan ini dengan suatu amalan sunat, pahalanya seolah-olah dia melakukan amalan fardu pada bulan-bulan lain. Barangsiapa melakukan amalan fardu pada bulan ini, dia akan dibalas dengan pahala seolah-olah telah melakukan tujuh puluh amalan fardu pada bulan yang lain. Inilah bulan kesabaran dan ganjaran bagi kesabaran yang sejati adalah surga, bulan ini juga merupakan bulan simpati terhadap sesama. Pada bulan ini, rezeki orang-orang beriman ditambah. Barangsiapa memberi makan (untuk berbuka) kepada orang yang berpuasa, kepadanya dibalas dengan pengampunan terhadap dosa-dosanya dan dibebaskan dari api neraka Jahanam dan dia juga memperoleh ganjaran yang sama sebagaimana orang yang berpuasa tadi tanpa sedikit pun mengurangi pahala orang yang berpuasa itu."

Kami pun berkata, "Ya Rasulullah ! Tidak semua orang di antara kami mempunyai sesuatu yang dapat diberikan kepada yang berpuasa untuk berbuka." Rasulullah SAW. menjawab, "Allah akan mengaruniakan balasan ini kepada seseorang yang memberi buka walaupun hanya dengan sebiji kurma, atau seteguk air, atau seisap susu. Inilah bulan yang pada sepuluh hari pertamanya Allah menurunkan rahmat, sepuluh hari pertengahannya Allah memberikan ampunan, dan pada sepuluh hari yang terakhir Allah membebaskan hamba-Nva dari api neraka Jahanam. Barangsiapa yang meringankan beban hamba sahayanya pada bulan ini, Allah SWT. akan mengampuninya dan membebaskannya dari api neraka. Perbanyaklah di bulan ini empat perkara. Dua perkara dapat mendatangkan keridhaan Tuhanmu dan dua lagi kamu pasti memerlukannya. Dua perkara yang mendatangkan keridhaan Allah yaitu, hendaklah kalian membaca kalimah toyibah dan istighfar sebanyak-banyaknya. Dua perkara yang kita pasti memerlukannya, yaitu hendaknya kamu memohon kepada-Nya untuk masuk surga dan berlindung kepada-Nya dari api neraka Jahanam. Barangsiapa memberi minum kepada orang yang berpuasa (untuk berbuka), Allah akan memberi minum dari telagaku yang sekali minum saja dia tidak akan merasakan dahaga lagi sehingga dia memasuki surga." (HR. Ibnu Khuzaimah)

Berdasarkan hadits-hadits di atas serta didasari dengan keagungan bulan Ramadhan sebagai bulan ibadah (Syahrul ibadah), umat Islam selayaknya menyambut kedatangan bulan Ramadhan sebagai berikut :
  1. Menyambutnya penuh dengan kegembiraan dan suka cita karena akan kedatangan bulan yang penuh berkah, bulan penuh limpahan rezeki, bulan yang penuh rahmat, ampunan, dan yang akan membebaskan dari api neraka.
  2. Mempersiapkan kondisi rohani dan jasmani karena berbagai ibadah yang ada di bulan Ramadhan memerlukan ketahanan fisik dan mental yang kuat.
  3. Menghayati dan memperdalam kembali petunjuk-petunjuk Al-Quran dan sunah yang berkaitan dengan berbagai amalan di bulan Ramadhan karena amal ibadah akan diterima Allah bila sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW.
  4. Memperbanyak takarub dan doa agar kita senantiasa diberikan kekuatan dan kemampuan untuk menjalankan ibadah di bulan Ramadhan.
  5. Menyelesaikan berbagai macam masalah (dosa) yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dan saling memaafkan.
  6. Bertekad dengan kuat akan mengisi waktu demi waktu di bulan Ramadhan dengan berbagai macam amal kebaikan dan mempunyai tekad Ramadhan kali ini adalah Ramadhan yang terbaik dan terindah dalam hidup kita.
Akhirnya, marilah kita renungi firman Allah SWT.,
وَالْعَصْرِ
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran." (QS. Al 'Ashr : 1-3)

Rasulullah SAW. bersabda, "Ketika aku menaiki tangga pertama, Jibril muncul di hadapanku dan berkata, "Celakalah orang yang mendapati bulan Ramadhan yang penuh berkah, tetapi tidak memperoleh ampunan." Maka aku berkata, "Amin." (HR. Hakim)

Wallahualam.***

[Ditulis oleh : H. MOCH. HISYAM, Ketua DKM Al Hikmah Sarijadi, anggota Komisi Pendidikan dan Dakwah MUI Kel. Sarijadi. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Wage) 30 Juli 2010 pada kolom "RENUNGAN JUMAT"]
Imam Nasa'i, seorang ahli hadits, meriwayatkan 1 (satu) wasiat Rasulullah SAW. menjelang wafat. Setelah turun ayat Al-Quran terakhir, ada di antara sahabat yang bergembira karena menandakan bimbingan Allah sudah lengkap. Namun, sebagian sahabat menangis karena bermakna saat-saat bersama dengan Rasulullah SAW. akan segera berakhir.

Tak lama setelah itu, Rasulullah SAW. pun jatuh sakit. Pada saat itu, beberapa menit sebelum dipanggil Allah SWT., Rasulullah SAW. sempat berwasiat yang digambarkan ahli haditst sebagai inti dari misi Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Wasiatnya cukup sederhana dan sangat pendek, "Ash Shalat, ash-shalat, ash-shalat, wa maa malakat aimaanukum." Tak lama setelah itu, Nabi SAW. pun wafat meninggalkan keluarga dan umat Islam seluruhnya.

Wasiat Nabi SAW. bermakna, "Kami titipkan shalat, shalat, shalat, dan orang-orang yang lemah di antaramu." Para ahli haditst mengabadikan dan menggambarkan shalat sebagai bentuk hubungan antara hamba dan Allah secara langsung. Sementara menolong orang-orang lemah mencerminkan hubungan antar sesama manusia.

Dalam QS. Ali Imran: 112, Allah SWT. berfirman,

ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ
"Sesungguhnya manusia akan mendapat derita di dunia dan akhirat nanti, kecuali jika ia sukses menghubungkan diri dengan Allah dan menghubungkan dengan sesama manusia." Hubungan manusia dengan Allah (hab-lum-minallah) dan hubungan manusia dengan sesamanya (hab-lum-minannas) sebagai inti sari dari Islam.

Rasulullah SAW. melakukan shalat rutin selama hidupnya setiap hari 40 rakaat, yakni 17 rakaat shalat wajib, 10 rakaat shalat rawatib yang mengiringi shalat wajib, 11 rakaat shalat tahajud dan witir, serta 2 rakaat shalat syukrul wudu setelah berwudu. Jumlah 40 (empat puluh) rakaat biasa kita lakukan saat bulan Ramadhan bahkan bisa berlebih. Namun selepas Ramadhan, jumlah rakaat shalat kita berkurang drastis. Setidaknya jangan sampai kita meninggalkan shalat wajib 17 (tujuh belas) rakaat.

Nabi Muhammad SAW. bersabda, "Jika kau ingin berusaha menghapuskan dosa, perbanyaklah shalat. Ketika engkau dihadapkan pada keadaan gelisah dan kebimbangan dalam menjalani kehidupan, maka dirikanlah shalat. Ketika kau dihadapkan dalam suatu masalah dan engkau tidak bisa mengambil keputusan, maka dirikanlah shalat."

Soal menolong sesama manusia dapat ditemukan dalam puluhan ayat Al-Quran. Allah SWT. memberikan isyarat perlunya menolong orang-orang lemah dengan menyatakan, "Tahukah kamu apa sebenarnya pendaWan dan inti perjuangan seorang Muslim ?" Lalu, Allah SWT. sendiri menjawabnya, "Intisari dan seluruh gerak juang seorang Muslim adalah pembebasan yang lemah dan memberikan makan kepada orang-orang yang butuh makan."

Seorang penghuni surga digambarkan Al-Quran sedang mengajukan pertanyaan kepada penghuni neraka. "Mengapa kau masuk neraka Saqar dan mendapat siksa Allah ?" Penghuni neraka menjawab, "Kesalahanku cuma dua. Aku belum siap melaksanakan shalat saat hidup di dunia dan kami tidak sempat menolong si miskin."

Nabi Muhammad SAW. sendiri dalam ratusan haditstnya menyatakan pentingnya memperhatikan kondisi orang-orang lemah. Nabi SAW. menyatakan, "Berikan upah kepada pegawaimu sebelum keringatnya kering. Berikan makan kepada pembantumu apa yang biasa engkau makan, dan perlakukan anak yatim sebagaimana engkau memperlakukan anakmu sendiri."

Istri Nabi Muhammad SAW., Siti Aisyah RA., pernah menceritakan kepada Nabi SAW. adanya seorang wanita dusun yang rajin shalat wajib dan shalat sunah, tak pernah meninggalkan puasa wajib dan sunah, dan menunaikan ibadah haji yang tak cukup hanya sekali. Bahkan, wanita itu rajin memohon khusus kepada Allah untuk keselamatan Nabi dan keluarganya dengan membaca shalawat. Siti Aisyah RA. merasa yakin tipe wanita seperti itu yang akan masuk surga.

Di luar dugaan, Nabi SAW. menyatakan wanita tersebut merupakan contoh wanita yang akan mendapat siksa Allah dan dibenci-Nya. "Aku tahu wanita itu memang rajin shalat, taat menjalankan puasa, tak lepas dari zikir, berdoa tiada henti, dan melaksanakan ibadah haji. Namun, aku juga tahu wanita itu tak pernah rukun dengan tetangganya," jawab Rasulullah SAW.

Semoga kita bisa menjalin hubungan yang baik dengan Allah melalui shalat dan ibadah-ibadah khusus lainnya. Hubungan baik dengan sesama manusia juga harus tetap terjaga. Insya Allah !***

[Ditulis oleh KH. MIFTAH FARIDL, Ketua Umum MUI Kota Bandung, Ketua Yayasan Unisba, dosen ITB, dan pembimbing Haji Plus dan Umrah Safari Suci. Tulisan ini disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi hari Kamis (Pon) 29 Juli 2010, pada kolom "CIKARACAK"]
Dikisahkan bahwa suatu malam, seorang Oadli dari Anthokia pergi ke tanah pertanian miliknya namun tatkala baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba ia dihadang oleh seorang perampok yang membentak, "Serahkan semua yang engkau miliki ! Kalau tidak, aku tidak akan segan-segan berbuat kasar terhadapmu !" "Semoga Allah menolongmu. Sesungguhnya para ulama itu memiliki kehormatan. Dan aku adalah seorang Oadli negeri ini, karena itu lepaskan aku," kata Oadli tadi.

"Alhamdulillah, karena Dia telah memberikan kesempatan kepadaku untuk bertemu dengan orang sepertimu. Aku sangat yakin bahwa kamu bisa kembali ke rumah dengan pakaian dan kendaraan yang serba berkecukupan. Sementara orang selainmu barangkali kondisinya lemah, faqir dan tidak mendapatkan sesuatupun," jawab si perampok "Menurutku, kamu ini orang yang berilmu," selidik Oadli. "Benar, sebab di atas setiap orang yang 'alim ada yang lebih 'alim," jawabnya tenang.

"Kalau begitu, apa katamu tentang hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW., 'Dien (agama) itu adalah Dien Allah, para hamba adalah para hamba Allah dan as-Sunnah adalah sunnah-Ku; barangsiapa yang membuat-buat sesuatu yang baru (bid'ah), maka atasnya laknat Allah.' Maka, memalak dan merampok adalah perbuatan bid'ah dan aku menyayangkan bila kamu masuk dalam laknat ini," kata Qadli mengingatkan.

"Wahai tuan Oadli, itu hadits Mursal (bagian dari hadits Dla'if), periwayatnya tidak pernah meriwayatkan dari Nafi' atau pun dari Ibn 'Umar. Kalau pun aku mengikuti kamu bahwa hadits itu shahih atau terputus, maka bagaimana dengan nasib si perampok yang amat membutuhkan, tidak memiliki makanan pokok (keseharian) dan tidak dapat pulang dengan berkecukupan. Sesungguhnya harta yang bersamamu itu halal bagiku. Malik meriwayatkan dari Nafi' dari Ibn 'Umar bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda, 'Andaikata dunia itu ibarat darah segar, niscaya ia halal menjadi makanan pokok kaum Mukminin.' Tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan seluruh ulama bahwa seseorang boleh menghidupi dirinya dan keluarga (tanggungan)-nya dengan harta orang selainnya bila ia khawatir binasa. Demi Allah, aku takut diriku binasa sementara harta yang ada bersamamu dapat menghidupiku dan keluargaku, maka serahkanlah ia lalu pergilah dari sini dengan selamat" ujar siperampok.

"Kalau memang demikian kondisimu, biarkan aku pergi dulu ke tanah pertanianku agar singgah ke penginapan para budak dan pembantuku untuk mengambil sesuatu yang dapat menutupi auratkku. Setelah itu, aku akan serahkan kepadamu semua apa yang bersamaku ini," kata Qadli beralasan.

"Tidak mungkin, tidak mungkin ! Orang sepertimu ini ibarat burung di dalam sangkar; bila sudah terbang ke udara, lepaslah ia dari genggaman tangan. Aku khawatir bila membiarkanmu pergi, kamu tidak bakal memberikan sesuatu pun kepadaku," kata si perampok lagi. "Aku bersumpah untukmu bahwa aku akan melakukan itu," kata Qadli mempertegas.

"Malik menceritakan kepada kami dari Nafi', dari Ibn 'Umar bahwa Rasulullah SAW. bersabda, 'Sumpah orang yang dipaksa (terpaksa) tidak menjadi kemestian (tidak berlaku).' Allah SWT. berfirman, 'Kecuali orang yang dipaksa sementara hatinya mantap dengan keimanan.' Aku khawatir nanti kamu menakwil-nakwil terhadap perkaraku ini, karena itu serahkan saja apa yang ada bersamamu itu !" tegas si perampok seakan tidak mau berkompromi. Maka, sang Qadli pun memberinya kendaraan dan pakaian tetapi tidak menyerahkan celananya. Lalu si perampok berkata, "Serahkan juga celana itu, ini harus !" "Sesungguhnya sekarang sudah waktunya shalat padahal Rasulullah SAW. bersabda, 'Celakalah orang yang melihat aurat saudaranya.' Sekarang ini, sudah waktunya shalat sementara orang yang telanjang tidak boleh shalat sebab Allah berfirman, 'Ambillah hiasan kamu setiap pergi ke masjid.' Dikatakan bahwa tafsir 'hiasan' tersebut adalah pakaian ketika akan shalat,"sang Qadli mulai berargumentasi.

"Adapun mengenai shalat kamu itu, maka hukumnya sah. Malik menceritakan kepada kami, dari Nafi', dari Ibn 'Umar bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda, 'Orang-orang yang bertelanjang melakukan shalat dengan berdiri sedangkan imam mereka berada di posisi tengah.' Malik berkata, 'Mereka tidak boleh shalat dengan berdiri tetapi shalat secara terpisah-pisah dan saling berjauhan hingga salah seorang dari mereka tidak bisa melihat kepada aurat sebagian yang lainnya.' Sedangkan menurut Abu Hanifah, 'mereka shalat dengan duduk.' Sementara mengenai hadits yang kamu sebutkan itu, maka ia adalah hadits Mursal dan andaikata aku menyerah kepada dalilmu, maka itu dapat diarahkan kepada makna 'memandang dengan syahwat.' Sedangkan kondisimu saat ini adalah kondisi terpaksa bukan bebas, dapat memilih. Bukankah engkau tahu bahwa wanita boleh mencuci farji (kemaluan)-nya dari najis padahal tidak dapat menghindar dari melihatnya ? Demikian juga dengan seorang laki-laki yang mencukur bulu kemaluannya, orang yang menyunat dan dokter. Bila demikian keadaannya, maka ucapan sang Oadli tidak berlaku," sanggah siperampok yang ahli fiqh ini. "Kalau begitu, kamulah Oadli sedangkan aku hanyalah seorang yang disidang (mustaqdla), kamulah Ahli Fiqh sedangkan aku hanya orang yang meminta fatwa dan kamulah Mufti sebenarnya. Ambillah celana dan pakaian ini," aku sang Qadli mengakhiri debat itu.

Lalu si perampok yang ahli fiqh itu mengambil celana dan pakaian tersebut, kemudian berlalu. Sementara Qadli masih berdiri di tempatnya hingga akhirnya ada orang yang mengenalnya. Qadli berkata, "Sesungguhnya ia adalah seorang ahli fiqh yang disanjung. Namun masa membuatnya pensiun hingga akhirnya melakukan apa yang telah dilakukannya tersebut." Dan akhirnya, sang Qadli mengutus seorang utusan kepadanya, memuliakannya serta menyuplai kebutuhan hidupnya.

Wallahu A'lam Bish-Shawab

[SUMBER : Mi'ah Qishshah Wa Qishshah Fii Aniis ash-Shaalihiin Wa Samiir al-Muttaqiin karya Muhammad Amin al-Jundy, juz.II, hal. 62-65]
BUKU PERTAMA
PENJABARAN MENYELURUH IYYAKA NA'BUDU WA IYYAKA NASTA'IN

(26) FIRAR DAN RIYADHAH

FIRAR

Hakikat firar adalah melarikan diri dari sesuatu ke sesuatu yang lain. Firar ini ada 2 (dua) macam :
  • Firar-nya orang-orang yang bahagia, yaitu firar kepada Allah.
  • Firar-nya orang-orang yang menderita, yaitu firar dari Allah kepada selain Allah.
Sedangkan firar dari Allah kepada Allah adalah firar-nya wali-wali Allah. Dalam menafsiri firman Allah, "Maka larilah kepada Allah", Ibnu Abbas berkata, "Artinya, larilah dari Allah kepada Allah dan taatlah kepada-Nya." Sedangkan Sahl bin Abdullah berkata, "Artinya, larilah dari selain Allah kepada Allah." Yang lain lagi berkata, "Larilah dari adzab Allah ke pahala-Nya, dengan iman dan ketaatan."

Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Artinya lari dari sesuatu yang tidak ada ke sesuatu yang senantiasa ada."

Ada 3 (tiga) derajat untuk firar ini :
  1. Firar-nya orang-orang awam, dari kebodohan ke ilmu, dengan disertai keyakinan dan usaha, dari kemalasan ke kerajinan yang disertai kesungguhan dan tekad, dari kesempitan ke kelapangan yang disertai harapan.
    Tentang firar dari kebodohan ke ilmu, kebodohan itu sendiri ada 2 (dua) macam : Pertama, tidak mengetahui kebenaran yang bermanfaat.
    Kedua, tidak beramal menurut keharusan dan kelazimannya.
    Kedua-duanya sudah mendefinisikan makna kebodohan menurut bahasa, istilah, syariat dan hakikat. Maka Musa berkata,
    قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
    "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang bodoh." (QS. Al-Baqarah : 67)
    Beliau berkata seperti itu setelah kaumnya berkata,
    "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan ?" Berarti, Musa berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang suka mengejek.
    Yusuf juga berkata,
    وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ
    "Dan, jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh." (QS. Yusuf : 33)
    Artinya, agar beliau tidak termasuk orang-orang yang melakukan apa-apa yang diharamkan kepada mereka. Allah befirman,
    إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ
    "Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kebodohan." (QS. An-Nisa' : 17)
    Qatadah berkata, "Para shahabat sudah sepakat bahwa apa pun bentuk kedurhakaan terhadap Allah disebut kebodohan."
    Ada pula yang berkata, "Para shahabat sudah sepakat bahwa siapa pun yang durhaka kepada Allah adalah orang yang bodoh."
    Seorang penyair berkata, "Tak ada gunanya seseorang membodohi kami hingga kita lebih bodoh dari jahily." Orang yang tidak mendalami ilmu disebut bodoh, entah karena dia tidak bisa mengambil manfaat dari ilmu itu, hingga dia disebut orang bodoh, entah karena ketidaktahuannya terhadap akibat dari perbuatannya.
    Firar ini merupakan firar dari 2 (dua) macam kebodohan : Kebodohan terhadap ilmu yang harus didapatkan dan diyakini, dan kebodohan terhadap pengamalannya. Firar dari kemalasan ke kerajinan yang disertai kesungguhan dan tekad, artinya meninggalkan belenggu kemalasan lalu berbuat dan berusaha, dengan kesungguhan dan tekad, tidak asal-asalan, tidak meremehkan dan tidak berandai-andai. Kesungguhan artinya kebenaran dalam beramal dan berusaha, sedangkan tekad merupakan kesungguhan dalam kehendak. Maka Allah befirman kepada Yahya,
    يَا يَحْيَىٰ خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ
    "Hai Yahya, ambillah Al-Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh." (QS. Maryam : 12)
    Quwwah dalam ayat ini berarti kesungguhan yang disertai tekad dan usaha, tidak seperti orang yang mengambil perintah-Nya dengan ragu-ragu dan setengah hati. Firar dari kesempitan ke kelapangan yang disertai harapan artinya lari dari dada yang terasa sesak dan penat karena kekhawatiran, kegelisahan, kesedihan dan ketakutan yang dirasakan hamba dari dalam dirinya, dan juga yang datang dari luar dirinya, seperti hal-hal yang berkaitan dengan sebab-sebab kemaslahatan hidupnya di dunia ini, baik dalam masalah harta, badan, keluarga, masyarakat atau musuhnya. Dia harus lari dari semua jenis kesempitan yang menghimpit dada, lalu beralih ke kelapangan keyakinan kepada Allah, tawakal dan harapan kepada-Nya.
    وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا
    وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
    "Dan, barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya." (QS. Ath-Thalaq : 2-3)
    Ar-Rabi' bin Khutsaim berkata, "Artinya, Allah menjadikan baginya jalan keluar dari hal-hal yang biasanya membuat manusia merasa sesak dadanya."
    Abul-Aliyah berkata, "Artinya, Allah menjadikan baginya jalan keluar dari segala kekerasan, baik kekerasan di dunia maupun di akhirat. Allah pasti memberikan kelapangan bagi orang Mukmin dari segala hal yang biasanya membuat manusia merasa sempit dan sesak dadanya." Selagi seorang hamba mempunyai persangkaan yang baik terhadap Allah, berpengharapan yang baik kepada-Nya dan tawakkal secara sungguh-sungguh, maka Allah tidak akan menelantarkannya dan tidak akan mengabaikan harapannya. Keyakinan dan baik sangka terhadap Allah ini merupakan istilah lain dari kelapangan hati. Sebab tidak ada yang lebih membuat dada terasa lapang setelah iman, selain dari keyakinan, mengharapkan yang baik dan berbaik sangka kepada Allah.
  2. Firar-nya orang-orang yang khusus, yaitu dari pengabaran ke kesaksian, dari rupa ke inti, dari bagian untuk diri sendiri ke pelepasan. Artinya, mereka tidak ridha jika iman mereka hanya sekedar dari pengabaran. Mereka ingin naik lebih tinggi agar bisa menyaksikan siapa pemberi kabar itu.
    Mereka ingin naik dari ilmul-yaqin lewat pengabaran ke ainul-yaqin lewat kesaksian, seperti yang diinginkan Ibrahim Alaihis-Salam dari Allah.
    وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِي الْمَوْتَىٰ ۖ قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ ۖ قَالَ بَلَىٰ وَلَٰكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي
    "Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, 'Ya Rabbi, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati !' Allah berfirman, 'Belum yakinkah kamu?' Ibrahim menjawab, 'Aku telah meyakininya, tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)'." (QS. Al-Baqarah : 260)
    Ibrahim menuntut agar keyakinannya nyata di depan mata dan apa yang ingin diketahui dapat disaksikan.
    Inilah makna yang diungkapkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang kesangsian, dalam sabda beliau,
    "Kita lebih layak untuk sangsi daripada Ibrahim yang berkata, 'Ya Rabbi, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati !'" Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak pernah sangsi, begitu pula Ibrahim. Tapi memang begitulah beliau mengungkapkan makna ini. Apa yang dituntut Ibrahim itu bukan karena sangsi atau ragu-ragu, tapi karena beliau menuntut kemantapan.
    Ada 3 (tiga) tingkatan tentang hal ini : Ilmul-yaqin yang diperoleh dari pengabaran, kemudian hati mendapatkan kejelasan hakikat pemberi kabar. Ilmu tentang pemberi kabar ini berubah menjadi ainul-yaqin, setelah itu menyatu menjadi haqqul-yaqin. Ilmu kita tentang surga dan neraka pada saat ini disebut ilmul-yaqin. Jika surga ditampakkan kepada orang-orang yang bertakwa dan neraka diperlihatkan kepada orang-orang yang durhaka, artinya mereka melihat dengan mata kepala sendiri, maka hal itu disebut ainul-yaqin.
    Jika penghuni surga sudah masuk surga dan penghuni neraka masuk ke neraka, maka itu disebut haqqul-yaqin.
    Firar dari rupa ke inti, artinya keluar dari ilmu dan amal-amal yang tampak, lalu beralih ke hakikat iman dan mu'amalah hati. Orang-orang yang mempunyai tekad yang besar tidak puas hanya dengan rupa-rupa amal yang tampak mata. Mereka tidak mempedulikannya kecuali dengan ruh dan hakikatnya. Pengetahuan tentang Allah tidak mengharuskan seseorang untuk meninggalkan perintah seperti anggapan orang-orang zindiq dan sufi.
    Bahkan seharusnya mereka bisa menyimpulkan hakikat perintah, rahasia ubudiyah dan ruh amaliyah. Mereka memposisikan diri di hadapan perintah seperti posisi orang yang mengetahui maksud perkataan orang lain yang berbicara dengannya, entah yang tersamar, yang jelas atau yang berupa isyarat.
    Sedangkan posisi selain orang-orang sufi seperti orang yang mengikut di belakang orang yang berilmu itu dan hanya menghapal semata, tanpa memahami dan mengerti maksudnya. Mereka ini lebih membutuhkan kepada perintah, sebab mereka tidak sampai kepada pengertian dan hakikat itu kecuali dengan adanya perintah, di samping harus ada hapalan, pengetahuan dan pengamalan.
    Orang-orang sufi ini mengartikan hakikat perintah yang dituntut adalah ruhnya, bukan rupa dan zhahimya. Karena itu mereka berkata, "Kami menghimpun hasrat pada tujuan dan hakikat, dan kami tidak membutuhkan rupa dan zhahirnya. Siapa yang menyibukkan diri dengan rupa berarti melalaikan tujuan dengan suatu sarana." Mereka tertipu, seperti halnya orang-orang yang hanya memperhatikan rupa amal dan zhahimya tanpa memperhatikan hakikat, ruh dan tujuannya. Golongan yang kedua mengabaikan rahasia amal, tujuan dan hakikatnya, sedangkan golongan pertama mengabaikan rupa dan zhahirnya. Mereka menganggap telah sampai kepada hakikat amal sekalipun tanpa zhahir amal itu. Padahal mereka hanya sampai kepada zindiq dan kekufuran, mengingkari apa yang seharusnya diketahui tentang diutusnya para rasul.
    Mereka adalah orang-orang kafir, zindiq dan munafik, sedangkan golongan selain mereka juga tidak sempurna. Hati itu mempunyai ubudiyah sebagaimana anggota badan. Mengabaikan ubudiyah hati sama dengan mengabaikan ubudiyah anggota tubuh. Kesempurnaan ibadah ialah dengan menerapkan ubudiyah untuk masing-masing pasukan, pasukan hati dan pasukan anggota tubuh.
    Firar dari bagian untuk diri sendiri ke pelepasan bagian itu ada beberapa tingkatan, yang tidak diketahui kecuali oleh orang yang benar-benar memiliki ma'rifat tentang hak-hak Allah dan apa yang diinginkan-Nya serta hak-hak hamba-Nya, mengetahui diri sendiri, amal dan penghalangnya. Secara umum, bagian ini artinya apa pun selain yang dikehendaki Allah darimu, entah yang hukumnya haram, makruh, mubah atau sunat. Semua ini tidak akan diketahui kecuali dengan memiliki ilmu yang mendalam tentang Allah dan perintah-Nya, tentang nafsu dan sifat-sifatnya.
    Sebenarnya di sana ada bagian yang bisa didapatkan seorang hamba sebagai haknya. Namun dia lari dari bagian ini untuk melepaskannya. Namun jarang manusia yang mampu melakukan hal ini, karena mereka beribadah kepada Allah justru untuk mendapatkan bagian dari apa yang dikehendakinya. Kalau pun ada, maka itu adalah kedudukan para nabi dan shiddiqin.
  3. Adapun firar-nya orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus ialah lari dari selain kebenaran kepada kebenaran, dari kesaksian firar kepada kebenaran, kemudian firar dari kesaksian firar. Uraian tentang masalah ini tidak jauh berbeda dengan uraian yang terdahulu.
RIYADHAH
Salah satu di antara persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in ialah riyadhah, yang artinya melatih jiwa pada kebenaran dan keikhlasan.

Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Riyadhah artinya melatih jiwa untuk menerima kebenaran." Hal ini bisa mengandung dua pengertian :
  1. Pertama, melatihnya untuk menerima kebenaran, jika kebenaran ini disodorkan kepadanya, yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan maupun kehendaknya. Apabila kebenaran ini ditawarkan kepadanya, maka dia langsung menerimanya.
  2. Kedua, menerima kebenaran dari orang yang menawarkan kepadanya. Firman Allah,
    وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
    "Dan, orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (QS. Az-Zumar : 33) Kebenaranmu saja tidak cukup, tapi harus ada kebenaranmu dan pembenaranmu terhadap orang-orang yang benar. Sebab sebenarnya banyak orang yang benar, tetapi mereka tidak mau membenarkan karena takabur, dengki atau sebab lainnya.
Riyadhah ini ada 3 (tiga) tingkatan :
  1. Riyadhah-nya orang awam, yaitu mendidik akhlak dengan ilmu, membersihkan amal dengan keikhlasan dan memperbanyak hak dalam mu'amalah. Mendidik akhlak dengan ilmu artinya menata dan membersihkan akhlak sesuai dengan pranata ilmu, sehingga seorang hamba tidak bergerak, zhahir maupun batinnya kecuali dengan pranata ilmu, sehingga semua gerakannya itu selalu ditimbang dengan timbangan syariat. Membersihkan amal dengan keikhlasan artinya membebaskan semua amal dari pendorong untuk kepentingan selain Allah yang mengotorinya. Ini merupakan istilah lain dari menyatukan kehendak. Memperbanyak hak dalam mu'amalah artinya memberikan hak Allah dan hak hamba secara sempurna seperti yang diperintahkan. Jika 3 (tiga) perkara ini dirasakan berat, maka pelaksanaannya merupakan riyadhah. Apabila sudah terbiasa, maka ia akan menjadi akhlak dan perilaku.
  2. Riyadhah-nya orang-orang khusus, yaitu dengan mencegah perpisahan, tidak menoleh ke tahapan yang telah dilewatinya dan membiarkan ilmu mengalir terus. Mencegah perpisahan artinya memotong sesuatu yang memisahkan hatimu dari Allah secara keseluruhan, menghadap kepada-Nya secara utuh, hadir bersama-Nya dengan segenap hati dan tidak menoleh kepada selain-Nya. Tidak menoleh ke tahapan yang telah dilewati artinya tidak menganggap ilmu yang dimiliki sudah cukup dan baik, tetap mencari tambahan, merasa khawatir andaikata kedudukan dirinya justru menjadi penghambat untuk melanjutkan perjalanan berikutnya. Yang sudah ada harus di jaga, dan seluruh kekuatannya harus digunakan untuk mencapai tingkatan dan tahapan yang lebih tinggi lagi. Siapa yang tidak mempunyai tekad untuk maju terus, berarti dia sedang mundur tanpa disadarinya. Sebab tabiatnya tidak mengenal istilah berhenti di tempat. Yang ada adalah maju ke depan ataukah mundur ke belakang. Orang yang benar-benar melakukan perjalanan tidak akan menoleh ke belakang dan tidak ingin mendengar panggilan kecuali yang datang dari arah depan dan bukan dari arah belakang. Membiarkan ilmu mengalir terus artinya pergi bersama orang yang mengajak untuk mencari ilmu, kemana pun perginya dia ikut di belakangnya, ke mana pun berlari, dia tetap mengikuti. Hakikatnya adalah pasrah kepada ilmu dan tidak menentangnya, rasa maupun keadaan. Teruslah berjalan bersama ilmu ke mana pun ia pergi. Tapi yang wajib dilakukan adalah mempersatukan ilmu dengan keadaan dan membuatnya menga-tur keadaan serta tidak berbenturan. Tentu saja semua ini sulit dilakukan kecuali orang-orang yang benar-benar memiliki tekad yang kuat dan benar, karena itulah yang demikian ini disebut riyadhah (latihan). Selagi jiwa dilatih terus dan dibiasakan, maka lama-kelamaan akan berubah menjadi akhlak.
  3. Riyadhah-nya orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus ialah dengan membebaskan kesaksian, naik ke tingkat penyatuan, menolak penentangan dan memutuskan segala bentuk penukaran. Membebaskan kesaksian mengandung 2 (dua) pengertian : Membebaskannya agar tidak menoleh ke yang lain, dan membebaskannya agar tidak perlu melihatnya. Sedangkan naik ke tingkat penyatuan artinya meninggalkan makna-makna perpisahan lalu beralih ke penyatuan dzat. Menolak penentangan artinya apa yang bertentangan dengan salah satu kehendaknya atau kehendak Allah. Memutuskan segala bentuk penukaran artinya membebaskan mu'amalah dari kehendak untuk mendapatkan pengganti atau imbalan. Dengan kata lain, menjadikan Allah sebagai sesembahan, sekalipun yang menyembah-Nya tidak mendapat imbalan apa-apa, karena memang menurut Dzat-Nya Allah layak untuk disembah dan tidak perlu menuntut atau meminta imbalan dari-Nya. Namun ada yang berpendapat, memperhatikan imbalan ini sangat penting bagi orang yang beramal. Jadi yang menjadi permasalahan adalah perhatian terhadap imbalan ini dan kejelasannya. Orang yang mencintai secara tulus dan tidak peduli terhadap imbalan, ternyata justru mengharapkan imbalan yang lebih besar dan dia mengejarnya. Imbalan yang lebih besar ini adalah kedekatan dengan Allah, melakukan perjalanan hingga sampai di sisi-Nya, tidak menyibukkan diri dengan hal-hal selainNya, menikmati cinta dan kerinduan untuk bersua dengan-Nya. Ini semua merupakan imbalan yang diharapkan orang-orang yang khusus mengharapkannya dan sekaligus merupakan tujuan mereka. Tidak ada yang tercela dalam hal ini. Bahkan ibadah mereka yang paling sempurna ialah jika perhatian mereka terhadap imbalan ini semakin besar. Memang meminta imbalan yang berkisar di kalangan makhluk, berupa kedudukan, harta, kekuasaan, tempat tinggal dan hal-hal lain yang serupa dengan ini merupakan sikap yang tercela. Terlebih lagi jika memang hanya itulah tuntutannya. Tapi jika tuntutan mereka adalah Dzat Yang Mahaagung, kedekatan dengan-Nya, kenikmatan cinta dan kerinduan bersua dengan-Nya, maka tidak ada yang tercela dalam ubudiyah ini dan tidak ada yang dianggap kurang. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Apabila kalian memohon kepada Allah, maka mohonlah surga Firdaus kepada-Nya, karena Firdaus itu merupakan pertengahan surga dan surga yang paling tinggi. Di atasnya ada 'Arsy Allah Yang Maha Pengasih, dan dari sana sungai-sungai surga memancar."
[Berikutnya....(27) Sima']

[Disalin dari Buku dengan Judul Asli : Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in (Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Muhaqqiq : Muhammad Hamid Al-Faqqy, Penerbit : Darul Fikr. Beirut, 1408 H.) Edisi Indonesia dengan judul : MADARIJUS-SALIKIN (PENDAKIAN MENUJU ALLAH) Penjabaran Kongkrit "Iyyaka Na'budu Wa Iyyaka Nasta'in"(Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Penerjemah : Kathur Suhardi, Penerbit :Pustaka Al-Kautsar. Jakarta, 1998)]
"Ketahuilah, di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, seluruh tubuh pun akan baik, dan jika ia rusak, seluruh tubuh pun akan rusak. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis di atas menerangkan bahwa baik buruknya seseorang bergantung pada kondisi hatinya karena hati merupakan bagian terpenting dalam tubuh manusia. Secara medis pun, hati merupakan penentu bagi seseorang. Andai hati seseorang baik, maka ia akan mampu menyuplai darah dengan baik ke seluruh tubuh.

Hati juga laksana raja yang memiliki bala tentara. Siapa bala tentara hati? Mereka adalah mata, lisan, dan indra. Jika kita ingin mengetahui status hati, maka amatilah bala tentaranya. Pepatah mengatakan, "Jika raja baik, rakyat pun ikut baik dan jika raja bobrok, rakyat pun ikut bobrok. Lihatlah hati kita, niscaya akan kita ketahui kondisi anggota fisik kita. Lihatlah laku fisik kita, niscaya akan kita ketahui kondisi hati kita".

Terkait hadis di atas, Imam Syafi’i berpendapat bahwa sumber akal adalah hati. Ini juga diperkuat firman Allah SWT,
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah). Mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." (QS. Al-A’raf : 179)

Karena pentingnya hati, hendaknya kita selalu berupaya menjaganya agar tetap suci, bersih dari segala noda, kosong dari segala kebusukan, steril dari dendam, jauh dari kedongkolan, suci dari kebencian, aman dari kedengkian, bebas dari buruk sangka, terhindar dari khianat, aman dari gibah, dan lepas dari hasrat hawa nafsu.

Untuk itu, ada beberapa tuntunan Islam yang dapat kita lakukan agar hati tetap bersih dan suci, yaitu sebagai berikut :
  1. Selalu mengingat Allah (dzikrullah). Dengan mengingat Allah SWT, kita menjadi takut akan ancaman-Nya jika melakukan dosa yang disebabkan penyakit hati. Oleh karena itu, dengan mengingat Allah SWT hati menjadi tenteram. Allah SWT berfirman,
    الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
    "(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Ra’d : 28)
  2. Memperbanyak istighfar karena istighfar merupakan pelenyap dosa. Setiap dosa meninggalkan noda hitam pada hati. Noda hitam bisa lenyap dengan melakukan istigfar. Sabda Nabi SAW., "Sesungguhnya bila seorang Mukmin melakukan satu dosa, pada hatinya timbul satu noda hitam. Bila dia bertobat, berhenti dari maksiat, dan beristigfar, niscaya mengkilap hatinya." (HR. Ahmad)
  3. Meninggalkan syubhat. Sesungguhnya perkara syubhat dapat membuat gelisah pemiliknya. Oleh karena itu, Rasulullah SAW. bersabda, "Tinggalkan apa yang meragukan dan beralihlah kepada apa yang tidak meragukan." (HR. Tirmidzi)
  4. Beriman kepada qadar dan ridha terhadap qadha-Nya. Sebab, di antara faktor yang membuat hati menjadi tenang, nyaman, dan tenteram adalah iman kepada qadar. Allah SWT berfirman,
    مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ ۚ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
    "Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu." (QS. At-Taghabun : 11)
  5. Berpuasa dan menjaga diri bagi yang belum mampu menikah. Nabi SAW. bersabda, "Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu menikah, hendaknya dia menikah. Karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Barangsiapa belum mampu, maka dia harus berpuasa. Karena puasa itu adalah perisai baginya." (HR. Bukhari dan Muslim)
  6. Memilih teman yang saleh. Teman mempunyai pengaruh besar terhadap kebersihan hati. Nabi SAW. bersabda, "Perumpamaan teman yang saleh dan yang buruk seperti seorang pemilik minyak wangi dan peniup pandai besi. Seorang pemilik minyak wangi jika dia tidak memberimu, maka kamu bisa membeli darinya; atau paling tidak kamu mencium bau harum darinya. Adapun peniup pandai besi, jika dia tidak membakar bajumu, maka kamu pasti akan mencium bau yang tidak sedap darinya." (HR. Bukhari dan Muslim)
  7. Selalu berdoa. Sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW., "Ya Allah yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.".Dan dalam kesempatan yang lain. Rasulullah SAW. berdoa, "Ya Allah sesungguhnya saya minta diberi hati yang baik." Oleh karena itu, Hasan Al-Bashry pernah berkata pada seseorang, "Obati hatimu karena yang dikehendaki Allah dari hamba-Nya adalah kebaikan hatinya."
Wallahualam. ***

[Ditulis oleh IMAM NUR SUHARNO, pengurus MUI Maniskidul dan Korps Mubaligh Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat. Disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi hari Jumat (Pahing) 23 Juli 2010 pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]
Secara bahasa, nikmat (an-ni'matu) berarti keadaan yang baik atau serasi. Para ulama ada yang mengartikan nikmat itu sebagai "kelebihan" atau "pertambahan", yaitu sesuatu yang baik dan berlebih dari yang dimiliki sebelumnya.

Manusia ketika lahir di dunia belum memiliki apa pun. la tidak memiliki kekayaan, kekuasaan, jabatan, kedudukan, atau ilmu pengetahuan. Apa pun yang dimiliki manusia setelah lahir ke dunia, itu berarti "kelebihan" atau "pertambahan", dan itulah nikmat dan anugerah dari Allah.

Dalam bahasa Arab, unta disebut dengan an-na'amu, satu akar kata dengan kata nikmat. Unta disebut an-na'amu karena unta terhitung nikmat yang besar bagi mereka yang tinggal di padang pasir, khususnya di negara-negara Arab. Unta dapat menempuh perjalanan jauh, bahkan hingga ratusan kilometer dan mampu menampung air cukup banyak. Dengan demikian, nikmat dapat disimpulkan dengan kesenangan hidup dan kenyamanan yang sesuai dengan diri manusia.

Dalam Al-Quran, terdapat 2 (dua) macam penulisan nikmat pada 2 (dua) ayat yang berbeda tetapi memakai redaksi yang sama. Yaitu pada Surat Ibrahim ayat 34 yang berbunyi,
وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
"Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)."

Pada Surat An-Nahl ayat 18 berbunyi,
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
"Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Dalam Surat Ibrahim ayat 34, penulisan kata nikmat menggunakan huruf ta maftuhah, sementara pada surat An-Nahl ayat 18, kata nikmat ditulis menggunakan huruf ta marbuthah.

Imam Az-Zarkasy dalam kitabnya, Al-Burhan, menyebutkan bahwa kata nikmat yang ditulis dengan huruf ta maftuhah menunjukkan kepada nikmat hissy (indrawi) yang berupa materiil, baik itu makanan, minuman, pakaian, maupun seluruh kebutuhan hidup manusia secara fisik.

Sementara kata nikmat yang ditulis dengan huruf ta marbuthah bahwa nikmat yang dimaksud adalah nikmat ma'nawy, yaitu berupa ajaran, pedoman, dan bimbingan hidup manusia untuk memenuhi kebutuhan psikis manusia. Dengan demikian, betapa lengkapnya nikmat dan anugerah Allah dalam mencukupi kebutuhan hidup manusia, baik secara fisik maupun psikis, atau kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani manusia.

Sementara umat Islam, umumnya manusia, hanya menganggap dan mengejar kebutuhan hidup jasmani atau hal-hal yang bersifat fisik materiil. Adapun kebutuhan psiMs atau rohani cen-derung terabaikan, bahkan kecenderungan manusia tidak tertarik kepada nikmat ma'nawy. Padahal kalau kita perhatikan lebih lanjut, pada Setiap bacaan Al-Fatihah sebanyak minimal tujuh belas kali dalam sehari, yaitu shirat al-ladzina an'amta 'alaihin (jalan yang Engkau beri nikmat kepada mereka) bahwa nikmat yang dimaksud pada ayat itu adalah nikmat ma'nawy, yaitu nikmat yang paling bernilai, yang tanpa nikmat itu seluruh nikmat yang kita dapatkan sama sekali tidak akan berarti bahkan bisa menjadi bencana bagi kita. Nikmat yang dimaksud tersebut adalah nikmat memperoleh hidayah Allah, serta ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu nikmat iman dan Islam serta penyerahan diri kepada Allah.

Dalam Al-Quran, tidak sedikit bahwa lafadz nikmat yang dimaksud adalah nikmat agama. Disebutkan dalam Surat Al-Maidah ayat 3,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"... padahari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksakan karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Demikian juga dalam Surat Ali Imran ayat 103,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk."

Dalam Surat Fathir ayat 3 disebutkan,

"Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepada kamu dari langit dan bumi ? Tidak ada Tuhan selain Dia. Maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan) ?"

Dalam Surat Lukman ayat 31 disebutkan,

"Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi semua orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur."

Dalam Surat Al-Fath ayat 1-5 disebutkan,
إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا
لِيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا
وَيَنْصُرَكَ اللَّهُ نَصْرًا عَزِيزًا
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ ۗ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
لِيُدْخِلَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَيُكَفِّرَ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ ۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عِنْدَ اللَّهِ فَوْزًا عَظِيمًا
"Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang, serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus. Dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak). Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang Mukmin, supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allahlah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, supaya Dia memasukkan orang-orang Mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan supaya Dia menutupi kesalahan-kesalahan mereka. Dan yang demikian itu adalah keberantungan yang besar di sisi Allah."

Bahkan Nabi Daud AS. mengajarkan kepada kita doa untuk senantiasa bersyukur terhadap nikmat yang telah kita terima.

Ternyata, nikmat yang paling besar untuk manusia adalah nikmat agama dan hidup beragama.***

[Ditulis oleh KH. ACENG ZAKARIA, Ketua Bidang Tarbiyyah PP. Persis dan pimpinan Pondok Pesantren Persis 99 Rancabango Garut. Tulisan ini disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Manis) 22 Juli 2010 pada kolom "CIKARACAK"]

BUKU PERTAMA
PENJABARAN MENYELURUH IYYAKA NA'BUDU WA IYYAKA NASTA'IN

(25) I'TISHAM

I'tisham artinya berpegang teguh. I'tisham ini ada 2 (dua) macam : I'tisham kepada Allah dan i'tisham kepada tali Allah. Firman-Nya,

فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ
"Dan, berpeganglah kalian kepada Allah. Dia adalah pelindung kalian, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong." (QS. Al-Hajj : 78)

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kalian bercerai berai." (QS. Ali Imran : 103)

I'tisham merupakan kata aktiva dari ishmah (perlindungan), yang berarti berpegang kepada sesuatu yang melindungimu dan menjagamu dari sesuatu yang ditakuti atau dihindari. Maka terkadang benteng juga bisa disebut awashim, karena ia berfungsi menjaga dan melindungi. Poros kebahagiaan kehidupan di dunia dan di akhirat adalah berpegang atau berlindung kepada Allah dan kepada tali Allah. Tidak ada keselamatan kecuali dengan dua perlindungan ini. Berpegang kepada tali Allah artinya berlindung dari kesesatan. Sedangkan berpegang kepada Allah artinya berlindung dari kebinasaan. Orang yang berjalan kepada Allah seperti orang yang sedang meniti suatu jalan menuju ke tempat tujuannya. Berarti dia membutuhkan penunjuk jalan dan keselamatan dalam perjalanannya. Dia tidak akan sampai ke tujuan kecuali dengan dua cara ini. Adanya petunjuk sudah cukup untuk menjaganya agar tidak tersesat dan sekaligus memberinya petunjuk jalan yang harus dilalui, begitu pula persiapan, kekuatan dan peralatan yang dapat melindunginya dari penghalang di tengah perjalanan.

Berpegang kepada tali Allah mengharuskan seorang hamba untuk mendapatkan petunjuk dan keharusan mengikuti dalil. Sedangkan berpegang kepada Allah mengharuskannya memiliki kekuatan, persiapan dan peralatan serta perangkat yang mendukung keselamatannya di jalan. Karena itu ungkapan orang-orang salaf tentang berpegang kepada tali Allah ini bermacam-macam. Tapi yang pasti setelah mereka mengisyaratkan kepada makna ini.

Menurut Ibnu Abbas, artinya berpegang kepada agama Allah.

Menurut Ibnu Mas'ud, artinya jama'ah. Dia berkata, "Hendaklah kalian mengikuti jama'ah, karena jama'ah adalah tali Allah yang diperintahkan-Nya. Apa yang kalian benci dalam jama'ah dan ketaatan, masih lebih baik daripada apa yang kalian sukai dalam perpecahan."

Menurut Mujahid dan Atha', artinya membuat perjanjian dengan Allah. Sedangkan menurut Qatadah dan mayoritas mufassir, artinya adalah Al-Qur'an.

Ibnu Mas'ud mengatakan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah tali Allah, cahaya yang terang benderang, obat penyembuh yang bermanfaat, perlindungan bagi siapa yang berpegang kepadanya dan keselamatan bagi siapa yang mengikutinya."

Ali bin Abu Thalib mengatakan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang Al-Qur'an, "Ia adalah tali Allah yang kokoh, dzikir kepada Dzat Yang Maha Bijaksana, jalan yang lurus, yang tidak luntur karena hawa nafsu, yang tidak berbeda bacaannya, tidak berubah karena banyak yang menolak dan tidak membuat para ulama merasa kenyang."

Muqatil berkata, "Artinya, berpeganglah kepada perintah Allah dan ketaatan kepada-Nya, janganlah kalian berpecah belah seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani."

Di dalam Al-Muwaththa' disebutkan dari hadits Malik, dari Suhail bin Abu Shalih, dari ayahnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah meridhai tiga perkara bagi kalian dan memurkai tiga perkara bagi kalian. Dia meridhai bagi kalian : Jika kalian menyembah-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, berpegang kepada tali Allah semuanya dan menyampaikan nasihat kepada orang yang diangkat Allah menjadi wali urusan kalian. Dia murka bagi kalian : Kata-mengatai, menghambur-hamburkan harta dan banyak bertanya." (Diriwayatkan Muslim)

Pengarang Manazilus-Sa'irin menjelaskan, bahwa i'tisham kepada tali Allah artinya menjaga ketaatan kepada-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya. Dengan kata lain, taat kepada-Nya secara tulus, karena Allah memerintahkannya dan mencintainya, bukan karena mengikuti tradisi atau karena alasan tertentu. Inilah makna iman dan mencari pahala di sisi Allah seperti yang diisaratkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam sabdanya, "Barangsiapa puasa Ramadhan karena iman dan mencari pahala di sisi Allah, dan siapa yang mendirikan shalat pada lailatul-qadar karena iman dan mencari pahala di sisi Allah, maka dosa-dosanya diampuni."

Sedangkan i'tisham kepada Allah artinya tawakal, berlindung, pasrah, memohon agar Dia menjaga dan memelihara. Di antara buah i'tisham adalah pertolongan Allah terhadap hamba. Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, i'tisham kepada Allah artinya melepaskan diri dari segala sesuatu selain Allah :

I'tisham kepada Allah ini mempunyai 3 (tiga) derajat :
  1. I'tisham-nya orang-orang awam, yaitu mereka yang berpegang kepada pengabaran, dengan meyakini janji dan ancaman, mengagungkan perintah dan larangan, yang melandaskan mu'amalah kepada keyakinan dan keadilan. Dengan kata lain, orang-orang awam itu berpegang kepada pengabaran yang disebutkan dari Allah, menerimanya secara utuh tanpa ada penentangan, dengan penuh iman, yang membuat mereka mengagungkan perintah dan larangan, membenarkan janji dan peringatan. Mereka melandaskan mu'amalah kepada keyakinan dan sama sekali tidak ada keraguan.

    Ada yang berkata, "Ahli nujum dan tabib menganggap bahwa jasad manusia tidak akan dibangkitkan lagi. Saya katakan, 'Itu terserah apa pendapatmu. Kalau memang pendapatmu benar, aku pun tidak merasa rugi, karena kerugian itu akan menjadi milikmu'." Keadilan yang menjadi dasar mu'amalah mereka, maksudnya adil dalam bermu'amalah dengan Allah dan dengan manusia. Adil dalam bermu'amalah dengan Allah ialah melakukan ubudiyah sesuai dengan haknya, tidak memberikan sifat-sifat Uluhiyah yang tidak semestinya, tidak bersyukur kepada selain-Nya atas nikmat-nikmat yang diterimanya dan tidak menyembah selain-Nya.

    Dalam atsar Ilahy disebutkan, "Aku, jin dan manusia berada dalam pengabaran yang besar. Akulah yang menciptakan, namun selain-Ku yang disembah. Akulah yang memberi rezki, namun selain-Ku yang disyukuri."

    Dalam atsar lain disebutkan, "Wahai anak Adam, kamu tidak adil kepada-Ku. Kebaikan-Ku turun kepadamu namun keburukanmu naik kepada-Ku. Apakah kamu menyukai nikmat, padahal Aku tidak membutuhkan kamu, dan kamu membuatku murka karena kedurhakaan, padahal kamu membutuhkan Aku. Malaikat yang mulia senantiasa naik kepada-Ku melaporkan amalmu yang buruk."

    Sedangkan adil dalam bermu'amalah dengan hamba, ialah memperlakukan mereka dengan cara yang dia pun suka jika diperlakukan seperti itu. Yang dikatakan tentang i'tisham-nya orang-orang awam ini pada hakikatnya juga merupakan i'tisham-nya orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus. Tapi masalah ini tidak perlu dipermasalahkan.
  2. Adapun i'tisham-nya orang-orang khusus ialah dengan memutuskan. Artinya menjaga kehendak dan menahannya, menolak hal-hal yang berkaitan dengan selain Allah dan membaguskan akhlak. Hal ini juga disebut dengan istilah "Berpegang kepada tali yang kokoh." Menolak segala kaitan (dengan selain Allah) harus dilakukan secara lahir dan batin. Tapi prinsipnya adalah memutus kaitan batin. Jika kaitan batin diputuskan, maka kaitan zhahirnya tidak akan berbahaya. Jika ada harta di tanganmu, namun harta itu tidak ada di hatimu, maka ia tidak akan berbahaya, sekalipun jumlahnya banyak.

    Al-Imam Ahmad pernah ditanya, "Apakah seseorang bisa disebut orang zuhud jika dia memiliki seribu dinar ?" Dia menjawab, "Bisa, tapi dengan syarat, dia tidak merasa senang karena jumlah itu semakin bertambah, dan tidak sedih jika ia semakin sedikit. Karena itu para shahabat adalah orang-orang yang paling zuhud, meskipun di tangan mereka ada harta benda yang melimpah."
  3. Adapun i'tisham-nya orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus ialah dengan menyambung. Artinya menyambung hubungan dan mendekatkan diri kepada Allah secara sendirian tanpa perantaraan apa pun.

    Pada tingkatan ini ada kehendak, cinta, pengagungan, ketakutan, pengharapan dan tawakal. Dalam hubungan antara hamba dan Rabb-nya hampir tidak ada perantara dan pembatas sedikit pun. Di sini hamba memenuhi seruan dengan senang hati dan penuh cinta, bukan karena terpaksa, seakan ada keterpaduan antara hati yang mencintai dan ruh-nya, lalu menyatu dengan kekasihnya.
[Berikutnya....(26) Firar dan Riyadhah]

[Disalin dari Buku dengan Judul Asli : Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in (Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Muhaqqiq : Muhammad Hamid Al-Faqqy, Penerbit : Darul Fikr. Beirut, 1408 H.) Edisi Indonesia dengan judul : MADARIJUS-SALIKIN (PENDAKIAN MENUJU ALLAH) Penjabaran Kongkrit "Iyyaka Na'budu Wa Iyyaka Nasta'in"(Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Penerjemah : Kathur Suhardi, Penerbit :Pustaka Al-Kautsar. Jakarta, 1998)]